Sumber : The Self-help Housing in Indonesia : The Only Option for the Poor ? oleh Devisari Tunas, Andrea Peresthu
Latar Belakang
Rumah Swadaya di Indonesia biasa disebut dengan Kampung, sebuah rumah yang diinisasi sendiri oleh masyarakat Indonesia. tidak hanya terkait dengan informal dan ilegalnya rumah namun juga terkait dengan fleksibelitas dan ketahanan. rumah yang dibangun secara swadaya rata rata jauh dari kesan memadai atau layak untuk dihuni. sehingga rumah swadaya akan menghasilkan permukiman kumuh pada perkotaan.
Beberapa pemegang autoritas di perkotaan di dunia tidak memiliki arah kebijakan, pendanaan, dan tidak tahu akan melakukan apa terkait dengan permukiman informal. sulitnya sistem kepemilikan lahan juga menjadi salah satu alasan masyarakat untuk lebih memilih untuk tinggal di permukiman kumuh. dan beberapa autoritas telah memiliki program untuk mengokomodir permasalahan rumah swadaya ini. namun masih kurangnya keseriusan dalam program tersebut karena secara garis besar, permaslahan perumahan swadaya tidak terlalu berpengaruh terhadapat peningkatan perekonomian dan perkembangan suatu kota.
Sektor swasta juga memiliki peran yang besar terkait perumahan suatu perkotaan. beberapa pengembang banyak telah menyediakan rumah dalam skala besar, namun harga yang ditawarkan tidak mampu dicapai oleh masyarakat. karena sasaran perumahan oleh pengembang lebih pada kelas menengah keatas sehingga kurang adanya pengontrolan dalam komposisi sosial pada suatu kawasan.
beberapa faktor diatas menjadi alasan beberapa masyarakat yang tidak terfasilitasi oleh pemerintah atau swasata untuk bertahan dengan kemampuan mereka sendiri. mereka mulai mencari beberapa lahan yang kosong dan mencoba untuk membangun atap mereka sendiri. beberapa masyarakat lari ke pinggir pantai untuk mencari lahan yang tidak digunakan walaupun sangat berpotensi akan rob. namun tidak hanya itu, beberapa masyarakat juga ada yang menghuni tempat tempat yang seharusnya tidak layak untuk di bangunkan rumah seperti pinggir rel kereta api, pinggir sungai, pinggir jalan raya, dan dibawah jembatan. dan kasus rumah swadaya ini selalu meningkat setiap tahunnya.
Fenomena Rumah Swadaya terjadi hampir diseluruh kota di Indonesia. kebanyakan terjadi karena dasar kehidupan masyarakat desa yang pindah ke perkotaan akibat Urbanisasi. sehingga membentuk permukiman baru di perkotaan bersama kerabat mereka yang mereka ajak pindah ke perkotaan. sehingga kampung tidak terlalu jauh berbeda dengan perkotaan.
Kajian Teori
Rumah Informal di Indonesia memeiliki banyak pengaruh, salah satunya adalah karakteristik terhadap Konstruksi. permukiman terkadang juga tidak terbentuk dengan proses yang sama disetiap tempat. perbedaanya terkadang dipengaruhi oleh kompsisi umur,lokasi, proses pengembangan, dan demografinya. tapi ada beberapa kesamaan yang ada pada perumahan swadaya yaitu ; kepadatan yang tinggi, kondisi kehidupannya, infrastruktur yang kurang baik, dan fasilitas publik yang buruk.
Pembahasan tentang rumah swadaya akan mengarah pada dua agenda utama, yaitu Pemberdayaan Perumahan Swadaya dan Karakter dari Kampung. Pemberdayaan Perumahan Swadaya memiliki 3 Isu utama. salah satunya adalah terkait Kepemilikan Lahan. Kepemilikan Lahan menjadi kunci dari Pemberdayaan ini. hal ini terkait denga lokasi yang tidak bisa asal asalan untuk membangun rumah di sembarang tempat. bagaimanapun, tanpa pemilikan lahan yang sah proses pemberdayaan tidak akan bisa dilaksanakan.
Isu yang kedua adalah kegiatan peronomian Informal. rata-rata masyarakat yang tinggal diperumahan swadaya merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan bersifat informal. sehingga ini menjadi permasalahn sendiri dalam pemberdayaan rumah swadaya dari pendapatan yang tidak tetap, dan keberlanjutan pekerjaannya tidak terjamin.
Isu yang ketiga adalah Kapital Sosial. Kapital Sosial yang dimaksud lebih pada hal umum seperti komunikasi, interaksi, hubungan timbal balik, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. karena hubungan sosial dalam masyarakat sangat jelas mempengaruhi suatu pemberdayaan yang dilaksanakan.
Selain Pemberdayaan, Rumah swadaya pada kampung juga memiliki karakater tersendiri. ada 4 tipe kampung yang ada di indonesia yaitu the inner-city kampong, the mid-city kampong, the rural kampong, dan the temporary squatter kampong. (Ford, 1993; Mcgee,1967)
The inner-city kampong adalah kampung yang berbentuk modern dan selalu berada pada pusat kota yang baru. hal ini disebabkan oleh aksesbilitas yang mengikat mereka dengan lokasi pekerjaan yang berada dipusat kota. the mid-city kampong selalu berlokasi antara kawasan komersil dan perumahan modern. the rural kampong selalu berbentuk permukiman yang biasa ada di desa desa dengan kepadatan yang lebih rendah, infatruktur yang tidak memadai, dan kultur budaya yang masih kental. dan yang paling parah adalah The Temporary squatter kampong dimana kondisinya tidak memiliki infrastruktur, tidak ada pelayanan, dan tidak memiliki kepemilikan lahan.
Badan Pusat Statistik telah membuat indikator dari suatu rumah dibilang tidak layak yaitu ;
- tidak memiliki IMB (Izin Memiliki Bangunan), IPB (Izin Pengunaan Bangunan), dan KMB (Kelayakan Menggunakan Bangunan) dan luas tidak lebih dari 8m2
- Lantai masih dari tanah
- tidak memiliki fasilitas sanitasi baik komunal ataupun private
- keterbatasan dalam variasi asupan gizi sehari hari
- hanya mampu membeli satu set pakaian setiap tahunnya
- tidak memiliki aset fisik, lahan pertanian, toko, bengkel, kendaraan, ataupun perhiasan
indikator diatas mencakup banyak aspek. mulai dari kondisi fisik, standar nutrisi, dan kemampuan untuk membeli. hal ini menjadi keterbatasan bagi mereka sendiri untuk dapat memiliki rumah yang layak karena untuk kebutuhan sehari hari pun harus berusaha sangat keras.
Program Pemerintah
pemerintah indonesia memiliki beberapa program dalam menanggapi permasalah perumahan swadaya ini yaitu the Kampong improvement Programme (KIP), Program Perumahan Nasional, dan kebijakan 1:3:6. KIP lebih menekankan pada peningkatan Kualitas Fisik bangunan, Kualitas Hidup, dan Ekonomi. namun kegiatan ini melupakan beberapa hal yang menjadi inti dari pemberdayaan itu sendiri yaitu kepemilikan lahan. pada program ini tidak ada jaminan atas keberadaan mereka disana. bisa jadi suatu waktu mereka direlokasi padahal Program KIP telah diterapkan disana sehingga Program tersebut menjadi percuma.
Program Perumahan Nasional lebih fokus pada penyediaan rumah murah bagi Pegawai Negeri Sipil. konsep ini melibatkan beberapa aspek yaitu Pembiayaan baik pengadaan maupun Pembelian rumah dan Konstruksi. Pembiayaan yang diterapkan pada konsep ini lebih pada bunga Bank yang dikenakan kepada pembeli sehingga tidak terlalu memberatkan dibandingkan dengan rumah biasa. pembiyaan ini sendiri biasa bekerjasam dengan perbankan. konstruksinya pun juga menggunakan konsep Rumah Inti Tumbuh (RIT) yaitu konsep yang menyediakan rumah yang kecil dengan lahan yang luas. harapannya adalah seiring berjalannya waktu, masyarakat yang memiliki rumah tersebut akan mampu terus mengembangkan rumah mereka menjadi lebih luas dan besar namun tetap sesuai dengan kontrol penggunaan lahan yang telah diatur oleh pemerintah daerah. Namun pada penerapannya konsep RIT tidak terlalu dipedulikan oleh pemilik rumah. terkadang mereka menghabiskan semua lahan untuk lahan terbangun. sehingga tidak tersediannya daerah resapan dan tidak terpenuhinya Ruang Terbuka Hijau Private disuatu kota yaitu 10 % dari luas lahan.
Dengan perkembangan pasar yang semakin pesat dan para pengembang mulai banyak muncul, pemerintah mengeluarkan kebijakan 1:3:6. yaitu kebijakan pengaturan komposisi rumah yang harus dibangun oleh para pengembang. dimana setiap ada 1 rumah untuk masyarakat kelas atas, maka harus ada 3 rumah untuk masyarakat kelas menengah dan 6 rumah untuk masyarakat kelas bawah. tujuan dari kebijakan ini adalah pengaturan komposisi sosial masyarakat. namun realitasnya, pembangunan rumah untuk masyarakt kelas menengah selalu berada pada lokasi yang berbeda, tidak bersama dengan perumahan kelas menengah - atas.
Dinamikan Perumahan Swadaya di Jakarta
Pengaruh Pasar dan ketidakseimbangan Lingkungan Sosial
Kebijakan yang Top Down seperti KIP, Perumnas, dan 1:3:6 menjadi kurang efektif dengan berkembangnya neo liberalism. dibawah pengaruh pasar yang liberal ini pemerintah mulai memikir langkah cepat untuk dapat menanggapi permasalahan rumah swadaya ini. subsidi menjadi cara paling cepat namun kurang efektif karena tidak adanya konsep pemberdayaan. sebagai contoh, kasus bubble housing di jakarta pada tahun 1990-an berawal dari para Commuter banyak berdatangan ke Jakarta akibat daya tarik ibukota yang sangat besar. namun para pengembang hanya menyediakan rumah untuk kelas menegah keatas. tidak hanya pada peningkatan akan rumah saja, namun juga berpengaruh pada aspek lain seperti kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan peningkatan konsumsi bahan bakar kendaraan. Tidak hanya itu, beberapa perumahan juga menjadi kesulitan dalam mengakses air bersih, penyempitan lahan kota, permasalahan sosial yang mulai muncul, lokasi perumahan yang tidak tepat, ketidak seimbangan harga lahan, mulai berkurangnya lahan pertanian, dan ketahanan pangan yang mulai rentan.
Legalitas Kampung
Rumah Swadaya tidak hanya sebatas satu-satunya pilihan untuk merekan dalam memiliki rumah, namun dari pemerintah kurang mampu dalam memfasilitasi yang lebih baik dan memberikan solusi yang berkelanjutan. Kampong dijakarta adalah satu-satunya pilihan masyarakat berpenghasilan rendah untuk tinggal. bagaimanapun status legal harus diselesaikan juga.
Legalitas sebuah kampung dijelaskan oleh 2 indikator yaitu pengakuan sebagai bagian dari kota secara formal maupun sub-urban atau kepemilikan lahan. sebuah kampung haruslah berada pada lokasi sesuai aturan mendirikan rumah. hal ini terkait dengan kelayakan dan keamanan dalam permukiman itu sendiri.
Rekomendasi
Dari beberapa fenomena diatas kita bisa menarik strategi untuk pengembangan rumah swadaya di jakarta, yaitu
- Kebijakan yang menyeluruh yang diarahkan untuk Pengembangan rumah Swadaya
Kebijakan yang ada seperti KIP, Perumnas, dan 1:3:6 belum mampu menyentuh semua aspek dari perumahan swadaya. karena berbicara soal Permukiman dan Perumahan akan terkait denga sesuatu yang multi dimensi. perlu kebijakan yang mampu mengakomodir semua dimensi tersebut
- Inventarisasi baik itu Fasilitas maupun Infrastruktur
- Sertifikasi Lahan
- Intervensi atas peningkatan Infrastruktur
- Peningkatan Kualitas Konstruksi rumah itu sendiri
- Penjagaan keterkaitan antara ekonomi dan sosial.
Kebijakan yang ada seperti KIP, Perumnas, dan 1:3:6 belum mampu menyentuh semua aspek dari perumahan swadaya. karena berbicara soal Permukiman dan Perumahan akan terkait denga sesuatu yang multi dimensi. perlu kebijakan yang mampu mengakomodir semua dimensi tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar